"Memory of Glass", Saat Ingatan Pembunuhan Hanya Bertahan 10 Menit

2 komentar
"Padahal masa lalu itu adalah kumpulan tahun dan bulan, tapi aku tidak bisa melihatnya. Apa yang aku dengar dan lihat, semuanya runtuh satu per satu. Seperti... seperti kaca. Ini sama saja dengan tidak pernah memiliki Ingatan."
Sumber gambar: freepik 


Kashihara Mayuko (40 tahun) menelepon polisi dan melaporkan dirinya sendiri karena telah membunuh seorang pria di dalam rumahnya. Namun begitu ia terbangun di rumah sakit setelah pingsan, ia tidak ingat jika ia pernah melapor, apalagi membunuh orang—meski semua bukti mengarahkannya sebagai tersangka utama.

Kiritani Yuko—detektif yang bertugas menyelidiki kasus yang dialami Mayuko, menemukan fakta bahwa Mayuko menderita Gangguan Fungsi Eksekutif Otak yang ia dapatkan karena kecelakaan mobil yang menimpanya 20 tahun lalu. Akibatnya, daya ingat Mayuko pun hanya bisa bertahan 10-20 menitan saja, dan ingatan yang tersimpan dalam memorinya hanyalah ingatan sebelum kecelakaan itu terjadi.

Gouda—pria yang terbunuh di rumah Mayuko, merupakan orang yang membunuh orang tua Mayuko 20 tahun lalu. Sehingga, motif balas dendam pun terasa wajar dibalik kasus tersebut. Tetapi, dengan kelemahan daya ingat Mayuko, bisakah ia merencanakan dan melakukan tindakan pembunuhan tersebut tanpa diketahui suaminya?

Yuko yang memiliki ibu yang menderita dementia sedikit banyak mengerti keadaan Mayuko. Tapi gara-gara hal tersebut, dia jadi menyelidiki kasus Mayuko secara subjektif. Apalagi melihat tingkah Mitsuharu—suami Mayuko—yang saat mengetahui pembunuhan yang dilakukan istrinya, terlihat tenang dan percaya begitu saja dengan apa yang terjadi. Padahal mereka telah menikah selama 19 tahun, dan selama itu pula Mitsuharulah yang merawat penyakit Mayuko karena merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa istrinya. 

Lalu saat seorang wanita tua datang membeberkan keadaan rumah tangga keluarga Kashihara, Yuko semakin yakin dengan intiusinya.
Bahkan hasrat untuk membunuh yang seharusnya menjadi perasaan paling kuat yang bisa dimiliki manusia sudah tidak tersisa lagi di dalam diriku. Hasrat itu tembus pandang seperti kaca, hanya meneruskan keheningannya.

Nama Akiyoshi Rikako sudah sejak lama menjadi auto buying author bagiku tiap bukunya rilis. Dan saat pre-order buku Memory of Glass ini dibuka, tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Sebenarnya sih mengincar yang versi tanda tangan, tapi belum sampai lima menit dimulai sudah habis terjual. Jadi harus puas dengan beli yang non tanda tangan. Mungkin lain kali kalau ada buku barunya lagi harus lebih gercep! 

Penuturan cerita dalam Memory of Glass ini menggunakan dua sudut pandang berbeda yang saling bergantian tiap babnya, yaitu menggunakan sudut pandang Mayuko sebagai orang pertama dan sudut pandang orang ketiga melalui tokoh Yuko. Saat membaca melalui sudut pandang Mayuko ini kadang suka bikin gemas, karena sering lupa dengan apa yang sedang terjadi—apalagi saat situasi genting. Tapi meskipun situasi Mayuko ini diulang-ulang, membacanya tidak bikin bosan karena penulis mampu menyusun alurnya dengan sangat apik. 

Sedangkan saat membaca melalui sudut pandang Yuko ini sedikit bikin emosional—apalagi ketika membahas ibunya, karena secara personal aku tahu dan mengerti apa yang dialaminya—bagaimana beratnya merawat orang tua yang sedang sakit (meski dalam kasusku, nenek yang butuh perawatan, dan yang merawatnya adalah orang tuaku). Pokoknya, membaca bagian Yuko ini terasa jleb banget.

Yang paling seru dari membaca novel-novel penulis adalah mencoba menebak-nebak akan seperti apa plot twist yang disuguhkan di akhir cerita. Aku sendiri sempat khawatir kalau kejutannya akan biasa saja. Karena sebelumnya, secara tidak sengaja aku melihat ada orang yang bilang kalau bosan saat membacanya (aku sampai menghindari dan skipped berbagai update status tentang novel ini karena takut ter-spoiler). Tetapi untungnya plot twist-nya memuaskan! Meski sudah berusaha sejeli mungkin saat membacanya, nyatanya tetap membuatku terkecoh dan tercengang. 

Di awal pembaca akan mengira bahwa faktanya adalah x (karena pikiran pembaca digiring ke arah sana), lalu menjelang bagian tengah ke akhir, kecurigaan pembaca langsung berubah karena suatu kejadian. Namun ternyata kecurigaan itulah yang benar. Di sini penulis begitu lihai dalam menyisipkan detail-detail cerita, sehingga membuat pembaca terlena dan jadi tidak menyadari kebenaran sesungguhnya. 


Jika biasanya novel-novel Akiyoshi Rikako terkenal dengan aura thriller dan suasana kelam yang kental, Memory of Glass ini sungguh memiliki vibe yang berbeda dari karya-karya beliau sebelumnya. Aliran emosi di novel ini sungguh sangat berbeda—penulis begitu pintar mengadu-aduk emosiku selama membacanya. Dan yang paling bikin ambyar adalah saat adegan di pantai. Membaca bagian tersebut sungguh membuat air mataku tak terbendung lagi. 

Meski memiliki pace cerita yang lambat dan diulang-ulang, cara menggiring kasus, selipan amanat kehidupan, dan cara menguak konflik utama, patut diacungi jempol—karena kesabaran bukankah akan menghasilkan sesuatu yang manis dan memuaskan?

Membaca Memory of Glass ini semakin mengukuhkan penulis sebagai penulis yang serba bisa dalam berbagai genre, dan karya-karyanya menjadi buku-wajib-beli bagiku. 
"... Meski tidak kelihatan, bukan berarti tidak ada. Kau bisa menyentuhnya jika kau mengulurkan tangan. Sinar matahari, angin, kita tidak bisa melihatnya, bukan? Akan tetapi kehangatannya, kesegarannya, bisa kita rasakan. Karena itu, ingatanmu pun meski tidak bisa dilihat, ia ada di dalam dirimu."
×××

Judul : Memory of Glass 
Judul Asli : ガラスの殺意 (Garasu no Satsui) 
Penulis : Akiyoshi Rikako 
Penerjemah : Andry Setiawan 
Penyunting : Prisca Primasari 
Penyelaras Aksara : Titish A.K 
Desain Sampul : Pola 
Penata Sampul : @teguhra 
Penerbit : Haru 
Terbit : November 2019 (Cetakan I) 
Tebal : 360 hlm.

Baca juga buku Akiyoshi Rikako:

Related Posts

2 komentar

  1. Saya hanya sempat membaca yang Holy Mother saja. Meskipun cara berceritanya yang bagus, sejak tidak menemukan yang mengejutkan sekali dari novel Holy Mother, saya memutuskan untuk tidak mengikuti karya beliau. Mungkin pada saat itu, saya termakan hype blogger lain yang bilang buku itu bagus banget dan mengejutka banget. Kenyataannya tidak sedasyat demikian. Sehingga berbalik efeknya saya rada ragu untuk membaca karyanya lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin karena banyak baca resensi dari orang lain jadi berekspetasi terlalu tinggi, ya? aku juga pernah mengalami pas baca The Lunar Chronicles series. padahal sudah dibela-belain ngumpulin novelnya lengkap, baru nanti dibaca. tapi karena kemakan omongan orang lain, dua seri terakhir masih jadi timbunan sampai sekarang 😅

      Holy Mother sama Memory of Glass punya vibe beda kok. coba baca MoG aja, siapa tahu jadi suka sama karya Akiyoshi 😁. tapi ya sarannya sih jangan terlalu banyak baca review-nya, kalo nggak mau terspoiler.

      Hapus

Posting Komentar