"Scythe", Dunia Tanpa Adanya Kematian

Posting Komentar
Kematian menjadikan seluruh dunia berkerabat. Kalau begitu, apakah dunia tanpa kematian akan menjadikan semua manusia orang asing?
Sumber gambar Pinterest 


Jauh di masa depan, teknologi sudah tidak banyak berkembang. Di dunia Utopia tidak ada lagi kelaparan, penyakit, dan perang—karena manusia berhasil mengendalikan semua itu, bahkan kematian. Karena manusia akhirnya berhasil mendapatkan cara untuk memiliki keabadian. Namun karena tidak ada kematian alami, populasi manusia pun membengkak, karena umumnya mereka akan dibangkitkan kembali kalau mati, atau memudakan umur mereka ketika mencapai usia tua tertentu. 

Untuk itulah Scythedom dibentuk. Scythedom merupakan sebuah organisasi yang berisi manusia-manusia pilihan (yang kemudian disebut Scythe) yang bertugas menghabisi nyawa seseorang untuk mengontrol jumlah manusia di bumi. 

Seorang Scythe melakukan pembunuhan  (di sini istilahnya pemungutan) kepada seseorang secara acak. Mereka dipilih berdasarkan algoritme yang didasarkan statistik kematian. Cara pemungutan yang dipilih pun bebas, tergantung pada Sycthe itu sendiri. Jika seseorang dipilih untuk dipungut oleh Scythe, maka orang tersebut tidak boleh melawan keputusan tersebut, karena akan ada konsekuensi besar yang menantinya. Dan di sisi lain, seorang Scythe juga boleh memberikan imunitas kepada seseorang agar orang tersebut tidak dapat dipungut selama jangka waktu tertentu. 

Citra dan Rowan pada mulanya hanyalah remaja biasa yang tidak saling mengenal. Namun karena mereka memiliki watak moral yang tinggi, keduanya ditawari menjadi murid magang seorang Scythe—meski mereka sendiri tidak menginginkannya. 

Di bawah pengarahan Scythe Faraday sebagai mentor, Citra dan Rowan dituntut untuk menguasai "seni" mencabut nyawa. Mereka berdua diharuskan belajar berbagai macam jenis senjata dan menghafal berbagai jenis racun mematikan. Mereka pun diberikan tugas-tugas yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani mereka, namun jika mereka gagal melaksanakannya, nyawa mereka sendiri taruhannya. 

Saat rapat tahunan Scythedom dilaksanakan, Citra dan Rowan diuji sampai sejauh mana kemampuan mereka jika nanti terpilih menjadi seorang Scythe. Awalnya mereka tidak terlalu peduli siapa yang menang, karena yang tidak lulus ujian akan kembali ke kehidupan lama mereka. Tetapi, di rapat itu mereka diberitahu bahwa salah satu dari mereka harus mencabut nyawa yang lain saat menjadi Scythe nanti. 
"Dunia punya bakat untuk memberi penghargaan atas tingkah laku buruk."


Scythe merupakan buku kedua yang aku selesaikan bulan ini. Proses bacanya sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama (dan bahkan bikin mood baca pun menurun) karena  narasi ceritanya yang lumayan berbelit-belit dan bikin bosan di awal. Untuk selingkuh bacaan lain dan membaca webtoon pun jadi nggak semangat, karena sejujurnya awalnya aku sangat tertarik dengan tema yang diangkat penulis, tetapi mungkin karena kurang sesuai dengan ekspetasi, jadi agak kecewa saat membacanya. 

Sebenarnya premis cerita Scythe ini menarik tapi sekaligus juga sinting! Bayangkan jika kita hidup di dunia yang serba sistematis dan semua manusia tidak pernah lagi merasa sakit karena kemajuan teknologi kesehatan yang kita ciptakan—bahkan kalau kita mati kita bisa "dihidupkan" kembali. Tetapi, apakah hal tersebut merupakan hal yang bagus? Karena tanpa adanya kematian, tentunya di bumi jadi terjadi ledakan populasi. Jadi untuk itulah Scythe ada. 

Bisa dibilang para Scythe ini merupakan manusia yang perannya seperti malaikat pencabut nyawa—demi menciptakan kehidupan utopis yang ideal sehingga tidak perlu adanya ledakan penduduk. Dan untuk menjadi seorang Scythe tidaklah mudah. Para murid magang Scythe harus berlatih bersama mentor mereka selama setahun—mempelajari segala teknik "membunuh" yang efisien untuk mengurangi dan menghindari rasa sakit ketika seseorang dicabut nyawanya—sebelum akhirnya ditahbiskan menjadi Scythe. Tetapi, meski para murid magang memiliki keahlian yang luar biasa untuk mencabut nyawa, para Scythe juga dituntut untuk memiliki moral yang tinggi. Jadi tak jarang banyak di antara mereka yang gagal saat ujian akhir. 

Alurnya sendiri terasa begitu lambat di awal. Namun karena penulis (dan juga penerjemah) berhasil menuturkan cerita dengan baik, rasa bosan yang aku rasakan saat awal membacanya semakin berkurang seiring cerita berjalan—dan  justru berubah makin seru saat Citra dan Rowan berusaha saling 'mengalahkan" untuk menjadi seorang Scythe. 

Gaya tulisan Neal Shusterman dalam buku ini  begitu mengesankan—dan untungnya  juga diterjemahankan dengan apik. Ada begitu banyak percakapan yang membuat kita jadi berpikir ulang tentang konsep kematian dan moralitas. Beberapa bagian yang ditulis dalam format jurnal harian juga membuat pembaca jadi semakin mengenal para karakter di dalam cerita.

Ending-nya sendiri bikin nggak bisa berkata-kata. Nggak terduga dan keren parah! Semoga saja buku kedua dan ketiganya yang baru saja terbit November 2019 kemarin segera diterjemahkan! Nggak sabar ingin baca kelanjutan cerita Citra dan Rowan. 

Harapan terbesarku untuk kemanusiaan bukanlah kedamaian, atau kenyamanan, atau kegembiraan. Yang kuinginkan kita semua mati sedikit dalam diri kita setiap kali menyaksikan kematian orang lain. Hanya empati yang membuat kita tetap menjadi manusia. Sebab tidak ada satupun dari versi Tuhan yang bisa membantu kita jika kita kehilangan empati. —Dari jurnal pemungutan H. S. Faraday
×××

Judul : Scythe
Seri : Arc of a Scythe #1
Penulis : Neal Shusterman
Penerjemah : Mery Riansyah
Penyunting : Primadonna Angela 
Desain Sampul : Robby Garsia
Penerbit : GPU
Terbit : Februari, 2019 
Tebal : 464 hlm. 

Related Posts

Posting Komentar