"The Boy I Knew From YouTube", Body Shamming, Bullying dan Cara Mengatasinya

1 komentar
"... Bullying itu akan terus terjadi kalau semua orang memilih diam. ..."
Sumber gambar freepik



Sudah sejak lama Rai mengidolakan youtuber Pie Susu yang sering mengunggah video fingerstyle guitar cover di saluran YouTube-nya. Bahkan gara-gara dia, Rai sampai membuat saluran YouTube-nya sendiri dengan nama Peri Bisu yang berisi nyanyiannya dengan iringan musik yang dimainkan Pie Susu. 

Selama ini Rai hanya saling berbalas pesan dengan Pie Susu lewat komentar di YouTube atau lewat e-mail. Obrolan mereka pun hanya seputar video unggahan mereka dan tidak saling melanggar privasi masing-masing. Tetapi siapa sangka, saat masuk SMA Rai baru tahu kalau pemilik channel Pie Susu adalah kakak kelasnya, Pri. 

Pie Susu atau Pri sendiri tak pernah mengetahui identitas Rai, karena video yang Rai unggah di channel Peri Bisu tak pernah menampilkan mukanya. Selama ini video Peri Bisu hanya menampilkan sosoknya dari belakang dan itu pun sebatas pundak ke atas. Karena, meskipun memiliki suara yang bagus, Rai tak lagi nyaman menampilkan bakatnya lagi di dunia nyata akibat body shaming yang ia dapatkan tiga tahun lalu.

Saat festival seni di sekolah, Rai tiba-tiba dipaksa untuk tampil lagi di depan umum, untungnya Kak Pri bersedia mengiringinya dengan gitar. Meski sempat bikin kesalahan saat di panggung, Rai berhasil menyelesaikan nyanyiannya. Dan gara-gara itu, Bu Bulan—guru pendamping ektrakulikuler musik—jadi tahu kemampuan yang Rai sembunyikan. Rai pun ditunjuk untuk tampil di lomba akustik bersama Pri, Lolita dan Dandi. 

Selama persiapan lomba, Rai pun makin dekat dengan Kak Pri. Meski masih tak percaya diri dengan kemampuannya, Kak Pri, Lolita dan Dandi selalu menyemangati Rai. Namun, karena suatu kejadian, gosip tentang ukuran tubuhnya kembali mencuat seperti tiga tahun yang lalu. 

Dan kini keadaannya makin parah, karena selain jadi bahan omongan hampir satu sekolahan, Rai juga mendapat pelecehan dari kakak kelasnya. Tentunya karena itu Rai makin tidak percaya diri dengan tubuhnya, bahkan sampai membuatnya bolos berhari-hari karena terlalu cemas dengan apa yang mungkin akan ia dapatkan di sekolah. 


"Tapi sebenarnya, semua itu balik ke diri kamu sendiri. Kalau kamu kuat, hal yang begini pasti nggak akan bikin kamu down. Nggak akan mempan. Kuncinya cuma satu, sayangi diri kamu sendiri, sayangi tubuh kamu sendiri. Simple kok."
The Boy I Knew From YouTube merupakan buku kedua penulis yang aku baca. Jujur saja, aku langsung tertarik untuk segera membaca buku ini setelah membaca Purple Prose karena aku merasa cocok dengan tulisan mbak Suarcani. 

Sama di buku sebelumnya, The Boy I Knew From YouTube ini juga mengambil pulau Bali sebagai latar cerita. Jika biasanya keindahan pemandangan pulau Bali yang di-explore dalam buku-buku sebelumnya, di buku ini kebudayaannyalah yang lebih banyak dibahas—terutama di kalangan SMA. Aku baru tahu kalau di Bali itu ada hari raya tersendiri seperti hari Raya Purnama, hari Raya Tilem dan pada hari Kamis setiap pelajar wajib mengenakan kebaya khas Bali. Bahasa daerah Bali yang sesekali diselipkan dalam dialog antar tokoh, membuat 'suasana' Bali yang dibangun penulis jadi makin terasa. 

Meski berlabel Teenlit, tema yang diangkat di buku ini tidaklah ringan—walau tidak bisa dibilang terlalu berat juga. Jika biasanya novel Teenlit identik dengan tema seputar persahabatan dan percintaan khas remaja, cerita dalam The Boy I Knew From YouTube terasa lebih menarik karena apa yang dialami si Rai ini sepertinya banyak juga dialami oleh para remaja seusianya—yang mengalami krisis kepercayaan dan terkadang juga mengalami perundungan karena bentuk tubuhnya.

Aku sendiri pernah mengalami apa yang dialami Rai ini saat beranjak remaja dulu. Saat itu aku merasa tidak percaya diri dengan tubuhku sendiri (karena beda dengan teman-teman kebanyakan). Tapi untungnya, apa yang kualami tak separah yang dialami Rai, karena aku memiliki teman-teman dengan pikiran terbuka. Jadi aku sendiri lebih cepat bisa menerima kelebihan dan kekuranganku sendiri.

Tapi untuk mengembalikan rasa percaya diri yang tiba-tiba down itu memang tidak mudah. Meski kita punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, saat rasa percaya diri itu hilang, terkadang kelebihan yang kita miliki pun jadi tidak bisa kita keluarkan. Karena itu untuk mengatasinya, dukungan dari keluarga dan teman-teman dekat merupakan salah satu hal yang penting untuk mengembalikan rasa percaya diri kita—selain berdamai dengan diri sendiri.

Tokoh favorit di novel ini tentunya adalah Kak Saka—kakaknya Rai, yang meskipun terkadang dia sering bersikap nyebelin pada Rai, tapi Saka-lah yang paling banyak dan sering memberikan kalimat-kalimat motivasi untuk Rai agar bisa segera bangkit dari keterpurukan dan mengembalikan rasa percaya dirinya.

Novel ini tidak hanya cocok untuk dibaca oleh para remaja, tapi juga untuk segala usia, karena banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah Rai dan Pri ini. 

"Asal kamu tahu, inti utama dari bahagia itu sebenarnya adalah rasa puas. Jika puas terhadap apa yang kamu miliki hari ini, pasti bisa merasa bahagia. Nggak ada ekspetasi berlebih, enggak ada rasa kecewa ketika harapanmu nggak kesampaian. Otomatis itu. Tetapi sebaliknya, jika kamu enggak puas sama diri sendiri, jangan harap bisa berkata cukup. Setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik, yang ada di otak kamu itu hanyalah penyesalan. Ujung-ujungnya apa, kamu jadi iri pada orang lain, jadi benci diri sendiri. Menurutmu enak hidup kayak gitu?"
×××

Identitas Buku

Judul : The Boy I Knew From YouTube
Penulis : Suarcani 
Penyunting : Midya N. Santi
Penyelaras Aksara : Wienny Siska 
Desain Sampul : Sukutangan 
Penerbit : GPU 
Terbit : Februari, 2020
Tebal : 256 hlm. 

Related Posts

1 komentar

  1. Rekomendasi yg bagus. Aku gak tahu kalau teenlit punya cerita yang berhubungan sama mental health, body positivity kayak gini. Mengingatkan saya sama karyanya John green.

    Terima kasih ulasannya bagus, mudah dipahami! Terus menulis ya :>

    BalasHapus

Posting Komentar